Cerita Dewasa, Aku maupun anak Majikanku - ialah warta seorang pembantu dan juga anak majikannya. term abang Tukul ngga mesti berlama lama lagi, silakan anda membaca berita Dewasa, ane maupun anak Majikanku.
Lima bulan sudah beta berusaha sesosok seorang pembantu rumahtangga di keluarga Pak Umar. awak tentunya enggak seorang yang makan ilmu bertumpuk, cuman lulusan SD saja di kampungku. Tetapi karena niatku untuk berkesibukan memang sudah gak bisa ditahan lagi, akibatnya aku pergi kedalam kota jakarta, dan beruntung bisa memperoleh atasan yang baik dan bisa memperhatikan kesejahteraanku.
Ibu umar pernah mengucapkan kepadaku bahwa beliau menerimaku membentuk pembantu rumahtangga dirumahnya lantaran usiaku yang relatif masih muda. Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota besar itu. "Jangan-jangan u nanti malah dijadikan wanita panggilan oleh para calo WTS yang tidak bertanggungjawab." Itulah yang diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan terkadang aku sadar bahwasanya aku tentunya agak cantik, berbeda dengan para gadis udik di kampungku. Pantas saja bila Ibu umar berkata begitu terhadapku.
Namun akhir-akhir itu timbul sesuatu yang mengganggu pikiranku, yakni tentang perlakuan anak majikanku abang Anto terhadapku. Mas Anto ialah anak bungsu keluarga Bapak umar. Dia selalu kuliah di semester 4, sedangkan kedua kakaknya telah berkeluarga. Mas Anto baik dan sopan terhadapku, hingga guwe jadi aga segan bila berada di dekatnya. Sepertinya timbul sesuatu yang bergetar di hatiku. bila aku kedalam pasar, Mas Anto tak hormat untuk mengantarkanku. sampai ketika naik mobil awak tidak diperbolehkan duduk di jok belakang, harus di sampingnya. Ahh.. Aku tetap jadi merasa tak afdol. telah satu malam sekitar tinju 20.00, abang anto hendak membikin mie instan di dapur, aku bergegas mengambil alih dengan argumentasi bahwasanya yang dilakukannya pada dasarnya sama dengan tugas ataupun kewajibanku untuk bisa mengabdi majikanku. Tetapi yang terjadi Mas Anto justru berkata kepadaku, "Nggak usah, Sarni. Biar ane saja, ngga apa-apa kok.."
"Nggak.. nggak apa-apa kok, Mas", jawabku tersipu sembari menyalakan perapian gas.
Tiba-tiba Mas Anto menyentuh pundakku. Dengan lirih dia berucap, "Kamu telah ngos-ngosan seharian bekerja, Sarni. Tidurlah, besok kamu terpaksa bangun khan.."
Aku cuman tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. kakak Anto kelak meneruskan memasak. tapi aku abadi termangu di sudut dapur. hingga kembali Mas Anto menegurku.
"Sarni, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti asalkan sampeyan kecapekan dan terus sakit, yang repot kan kita juga. Sudahlah, ane bisa rebus sendirian kalau hanya cuma bikin mie seperti ini."
Belum juga berakhir ingatanku ketika kami berdua sementara nonton televisi di ruang tengah, sedang orang tua ataupun emak Umar sedang tidak berlokasi di rumah. Entah kenapa tiba-tiba kanda Anto memandangiku dengan segar. Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
"Kamu cantik, Sarni."
Aku cuma tersipu maupun berucap,
"Teman-teman mas Anto di kampus kan kian cantik-cantik, apalagi oknum-oknum ini kan orang-orang kaya dan pandai."
"Tapi yu lain, Sarni. Pernah gak kamu membayangkan andaikan satu diwaktu muncul anak majikan mencintai pembantu rumahtangganya sendiri?"
"Ah.. Mas Anto ini ada-ada saja. Mana muncul cerita seolah-olah itu", jawabku.
"Kalau kenyataannya ada, bagaimana?"
"Iya.. nggak ngerti deh, Mas."
Kata-katanya itu yang hingga dikala ini membuatku terus-menerus gelisah. apa benar yang dikatakan oleh raka Anto bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia darah daging majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan gue hanya oknum pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu sering terngiang di benakku.
Tibalah awak memasuki bulan kedalam tujuh masa kerjaku. Sore ini sirkulasi udara memang sedang hujan meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Anto memasuki garasi. Kulihat pemuda itu berlari datang teras rumah. gue bergegas menghampirinya dengan membawa handuk bagi menyeka tubuhnya.
"Bapak belum pulang?" tanyanya padaku.
"Belum, Mas."
"Ibu.. pergi..?"
"Ke rumah Bude Mami, amat ibu bilang."
Mas Anto yang sementara duduk di sofa ruang tengah kulihat selalu tak finis menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat ego nyaris meninggalkan lobi tengah, kudengar kakang anto memanggilku. balik aku menghampirinya.
"Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan", tutur raka Anto sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Santi, saya ingin bilang bahwa aku menyukaimu."
"Maksud Mas Apa bagaimana?"
"Apa ego butuh jelaskan?" sahut kakak Anto padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan kangmas Anto dengan jarak yang sangat dekat, bahkan bisa terbilang terlalu dekat. Mas Anto memegang kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan dikit tarikan yang dilakukannya akan jelas tubuhku pernah dalam posisi sedikit terangkat merapat di bodinya. pernah pasti dan juga otomatis pula aku semakin dapat menonton wajah cakap yang mendekati basah sebab guyuran hujan tadi. Demikian pula mas Anto yang semakin dapat pula memperhatikan wajah bulatku yang dihiasi bundarnya bola mataku maupun mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang dengan dalam tanpa tahu sangka masing-masing didalam hati. Tiba-tiba entah karena saran tafsir yang seperti apa maupun bagaimana bibir Mas Anto menciumi berbagai lekuk mukaku yang segera sehabis sampai pada bagian bibirku, ane membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan MasAnto merambah keatas ke arah dadaku, dalam babak gumpalan dadaku tangannya meremas lembut yang membuatku tanpa sadar mendesah maupun hingga menjerit sejuk. bahkan disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan segar yang berlebih tapi didalam ronde lainnya aku merasakan sip yang berlebih tapi dalam bagian lain beta menghadapi takut yang entah apakah awak harus melawannya. Namun campuran rasa yang demikian ini segera terhapus oleh rasa nikmat yang mulai bisa menikmatinya, awak selalu membaktikan dan membalas tiap-tiap ciuman bibirnya yang di arahkan pada bibirku berikut setiap lekuk yang ada di bagian dadaku. ego semakin tak kuat menahan rasa, gue menggelinjang mudah menahan desakan serta gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas 1 demi 1 kancing baju yang kukenakan, sampailah aku telanjang dada hingga buah dada yang begitu ranum menonjol serta mempertontonkan diri pada akang Anto. Semakin saja Mas Anto memainkan bibirnya didalam burit buah dadaku, dikulumnya, diciuminya, bahkan manusia ini menggigitnya. Golak serta fibrasi yang tak telah kurasa sebelumnya, awak kali ini melayang, terbang, guwe ingin menikmati langkah berikutnya, ana mengalami sebuah kenikmatan tanpa sampai untuk saat ini.
Aku telah menguji untuk memerangi gejolak yang meletup bak gunung yang akan memuntahkan volume kawahnya. akan tetapi suara hujan yang makin menderas, serta kondisi rumah yang hanya tinggal kite-kite berdua, serta bisik goda yang gue tidak tahu darimana datangnya, kesemua itu membuat kami berdua semakin larut dalam permainan sayang itu. Pagutan ataupun rabaan mas Anto ke seluruh tubuhku, membuatku pasrah didalam rintihan kenikmatan yang kurasakan. tangan kakanda Anto diawali mereteli pakaian yang dikenakan, iapun telanjang bulat sekarang. awak tak tahan lagi, segera sosok itu menggoda dengan keras celana didalam yang kukenakan. Tangannya terus saja menggerayangi sekujur tubuhku. kemudian didalam dikala tertentu tangannya membimbing tanganku bagi menuju tempat yang diharapkan, dibagian bawah badannya. kangmas Anto dan terdengar merintih.
Buah dadaku yang mungil ataupun padat tak pernah lepas dari remasan lengan kanda Anto. Sementara tubuhku yang sudah telentang di bawah bodi Mas Anto menggeliat-liat seperti umbai kepanasan. Hingga lenguhan di antar kami mulai terdengar sebentuk tanda permainan ini telah usai. keringat muncul di sana-sini sementara gaun kami tampak berserakan dimana-mana. lobi tengah ini menjadi sangat awut-awutan dilebih sofa tempat kite-kite bermain sayang denga sarat gejolak.
Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu Mas Anto. kite-kite duduk di sofa, tempat kita tadi memasang sejenis permainan cinta, dengan duga sesal yang masing-masing berkecamuk dalam hati. "Aku gak akan mempermainkan kamu, Sarni. hamba lakukan itu ganjaran guwe mencintai sampeyan. aku sungguh-sungguh, Sarni. kau mau mencintaiku kan..?" gue terdiam tidak mampu memberikan jawaban sepatah katapun.
Mas Anto menyeka butiran air bening di sudut mataku, lalu mencium pipiku. Seolah beliau menyatakan bahwa keinginan hatinya padaku merupakan kejujuran cintanya, maupun akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya. Meski aku lestari bertanya pada sesalku, "Mungkinkah kanda Anto bakal mampu menikahiku yang hanya seorang pembantu rumahtangga?"
Sekitar tonjok 19.30 malam, barulah rumah ini tak berbeda dengan waktu-waktu kemarin. papi dan juga bunda umar seakan-akan biasanya tengah menikmati tayangan aktivitas televisi, dan raka Anto mendekam di kamarnya. Yah, seolah tak ada laporan apa-apa yang pernah terbentuk di ruang tengah itu.
Sejak permainan cinta yang sarat nafsu itu kulakukan dengan Mas Anto, diwaktu yang berjalanpun tak terasa telah memaksa kami untuk terus bisa mengulangi lagi sedap ataupun indahnya permainan cinta tersebut. Dan yang pasti aku menjadi oknum yang harus bisa menuruti kemauan nafsu yang timbul pada diri. kurang peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di dapur, asalkan keadaan rumah lagi sepi, kita selalu terbenam hanyut dalam permainan cinta denga gejolak nafsu birahi. masih saja setiap kali aku membayangkan satu hal corak pada permainan cinta, tiba-tiba nafsuku bergejolak ingin segera saja rasanya mengenakan jenis yang sedang melintas pada benakku tersebut. Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan membayangkan wajah akang Anto. hingga ketika di rumah sedang ada ambu umar namun tiba-tiba nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan juga mempromosikan perintah pada raka Anto untuk menyusulnya. Untung kamar mandi bagi pembantu di keluarga itu letaknya timbul di burit renggang dari jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan sarat gejolak di bawah guyuran cairan mandi, dengan lumuran busa sabun di sana-sini yang rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas tentang kenikmatan.
Walau tiap-tiap kali usai melakukan hal ini dengan kanda Anto, gue senantiasa dihantui oleh satu contoh komentar yang itu-itu lagi serta dengan mudah mengusik benakku: "Bagaimana jika aku hamil kelak? apa andaikan kangmas Anto malu mengakuinya, bagaimana keluarga bapak Umar mau merestui kami berdua bagi menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu? Ataukah aku bakal di mendeportasi dari rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh bagi menggugurkan kandungan ini?" Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku seolah gelo dan butuh menjerit sekeras mungkin. Apalagi kakak Anto selama ini hanya berucap: "Aku mencintaimu, Sarni." Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari mulut Mas Anto, tidak akan berarti apa-apa jika Mas Anto langgeng tenang tak berterus terang dengan keluarganya atas bagaimana yang pernah terbuat dengan kami berdua.
Akhirnya terjadilah apakah yang mumpung itu kutakutkan, bahwa aku mulai senantiasa mual dan juga muntah, yah.. beta hamil! kangmas Anto diawali gugup dan panik atas kejadian ini.
"Kenapa kamu bisa hamil sih?" guwe cuma tenang tak menjawab.
"Bukankah ane pernah memberimu tablet supaya kamu nggak hamil. jika begini kita yang repot juga.."
"Kenapa mesti repot abang? Bukankah kakak Anto sudah berjanji akan menikahi Sarni?"
"Iya.. iya.. akan tetapi enggak secepat ini Santi. Aku masih mencintaimu, dan juga ana terbukti akan menikahimu, dan aku dipastikan akan menikahimu. Tetapi bukan saat ini. guwe butuh tatkala yang tepat untuk ngegosip dengan Bapak serta enyak bahwa aku mencintaimu.."
Yah.. berbagai bengawan gue mengeluh masalah perutku yang makin bertambah usianya dari masa kedalam masa serta berganti dengan minggu, kakang Anto selalu kebingungan seorang diri dan juga tak pernah mendapatkan jalan keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh situasi pada rahim yang tentunya makin membesar.
Genap pada usia 3 bulan kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi dari rumah famili ibu umar. Kutinggalkan semua nostalgia duka maupun suka yang mumpung ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan menyalahkan Mas Anto. Ini semua salahku yang tak mampu menjaga otoritas dinding imanku.
Subuh pagi ini awak meninggalkan rumah itu tanpa pamit, sehabis kusiapkan sarapan ataupun sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwasanya awak pergi karena merasa bersalah terhadap keluarga papi Umar.
Hampir setahun selepas kepergianku dari keluarga bapak umar, Aku sekarang pernah menikmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya gue jalani, tapi ana bahagia. Hingga dalam suatu pagi aku membaca surat pembaca di tabloid masyhur. Surat itu isinya bahwasanya oknum pemuda Anto menguber dan mengharapkan isterinya yang bernama Sarni untuk segera pulang. Pemuda itu tampil sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si kandidat isterinya imbas wujud itu begitu mencintainya.
Aku ketahui dan mengerti benar siapa calon isterinya. tapi saya pernah enggak butuh lagi serta pula beta tidak pantas untuk berada di rumah itu lagi, rumah tempat tinggal pemuda bernama Anto itu. ane sudah terbenam dalam kubangan ini. Andai saja mas Anto suka pergi ke lokalisasi, terbukti orang ini tidak perlu harus menulis surat pembaca itu. kanda Anto tentu bakal menemukan calon istrinya yang sangat dicintainya. Agar akang Anto pun mengerti bahwasanya hingga sekarang aku masih merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang perdana maupun terakhir bagiku.
Lima bulan sudah beta berusaha sesosok seorang pembantu rumahtangga di keluarga Pak Umar. awak tentunya enggak seorang yang makan ilmu bertumpuk, cuman lulusan SD saja di kampungku. Tetapi karena niatku untuk berkesibukan memang sudah gak bisa ditahan lagi, akibatnya aku pergi kedalam kota jakarta, dan beruntung bisa memperoleh atasan yang baik dan bisa memperhatikan kesejahteraanku.
Ibu umar pernah mengucapkan kepadaku bahwa beliau menerimaku membentuk pembantu rumahtangga dirumahnya lantaran usiaku yang relatif masih muda. Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota besar itu. "Jangan-jangan u nanti malah dijadikan wanita panggilan oleh para calo WTS yang tidak bertanggungjawab." Itulah yang diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan terkadang aku sadar bahwasanya aku tentunya agak cantik, berbeda dengan para gadis udik di kampungku. Pantas saja bila Ibu umar berkata begitu terhadapku.
Namun akhir-akhir itu timbul sesuatu yang mengganggu pikiranku, yakni tentang perlakuan anak majikanku abang Anto terhadapku. Mas Anto ialah anak bungsu keluarga Bapak umar. Dia selalu kuliah di semester 4, sedangkan kedua kakaknya telah berkeluarga. Mas Anto baik dan sopan terhadapku, hingga guwe jadi aga segan bila berada di dekatnya. Sepertinya timbul sesuatu yang bergetar di hatiku. bila aku kedalam pasar, Mas Anto tak hormat untuk mengantarkanku. sampai ketika naik mobil awak tidak diperbolehkan duduk di jok belakang, harus di sampingnya. Ahh.. Aku tetap jadi merasa tak afdol. telah satu malam sekitar tinju 20.00, abang anto hendak membikin mie instan di dapur, aku bergegas mengambil alih dengan argumentasi bahwasanya yang dilakukannya pada dasarnya sama dengan tugas ataupun kewajibanku untuk bisa mengabdi majikanku. Tetapi yang terjadi Mas Anto justru berkata kepadaku, "Nggak usah, Sarni. Biar ane saja, ngga apa-apa kok.."
"Nggak.. nggak apa-apa kok, Mas", jawabku tersipu sembari menyalakan perapian gas.
Tiba-tiba Mas Anto menyentuh pundakku. Dengan lirih dia berucap, "Kamu telah ngos-ngosan seharian bekerja, Sarni. Tidurlah, besok kamu terpaksa bangun khan.."
Aku cuman tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. kakak Anto kelak meneruskan memasak. tapi aku abadi termangu di sudut dapur. hingga kembali Mas Anto menegurku.
"Sarni, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti asalkan sampeyan kecapekan dan terus sakit, yang repot kan kita juga. Sudahlah, ane bisa rebus sendirian kalau hanya cuma bikin mie seperti ini."
Belum juga berakhir ingatanku ketika kami berdua sementara nonton televisi di ruang tengah, sedang orang tua ataupun emak Umar sedang tidak berlokasi di rumah. Entah kenapa tiba-tiba kanda Anto memandangiku dengan segar. Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
"Kamu cantik, Sarni."
Aku cuma tersipu maupun berucap,
"Teman-teman mas Anto di kampus kan kian cantik-cantik, apalagi oknum-oknum ini kan orang-orang kaya dan pandai."
"Tapi yu lain, Sarni. Pernah gak kamu membayangkan andaikan satu diwaktu muncul anak majikan mencintai pembantu rumahtangganya sendiri?"
"Ah.. Mas Anto ini ada-ada saja. Mana muncul cerita seolah-olah itu", jawabku.
"Kalau kenyataannya ada, bagaimana?"
"Iya.. nggak ngerti deh, Mas."
Kata-katanya itu yang hingga dikala ini membuatku terus-menerus gelisah. apa benar yang dikatakan oleh raka Anto bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia darah daging majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan gue hanya oknum pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu sering terngiang di benakku.
Tibalah awak memasuki bulan kedalam tujuh masa kerjaku. Sore ini sirkulasi udara memang sedang hujan meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Anto memasuki garasi. Kulihat pemuda itu berlari datang teras rumah. gue bergegas menghampirinya dengan membawa handuk bagi menyeka tubuhnya.
"Bapak belum pulang?" tanyanya padaku.
"Belum, Mas."
"Ibu.. pergi..?"
"Ke rumah Bude Mami, amat ibu bilang."
Mas Anto yang sementara duduk di sofa ruang tengah kulihat selalu tak finis menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat ego nyaris meninggalkan lobi tengah, kudengar kakang anto memanggilku. balik aku menghampirinya.
"Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan", tutur raka Anto sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Santi, saya ingin bilang bahwa aku menyukaimu."
"Maksud Mas Apa bagaimana?"
"Apa ego butuh jelaskan?" sahut kakak Anto padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan kangmas Anto dengan jarak yang sangat dekat, bahkan bisa terbilang terlalu dekat. Mas Anto memegang kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan dikit tarikan yang dilakukannya akan jelas tubuhku pernah dalam posisi sedikit terangkat merapat di bodinya. pernah pasti dan juga otomatis pula aku semakin dapat menonton wajah cakap yang mendekati basah sebab guyuran hujan tadi. Demikian pula mas Anto yang semakin dapat pula memperhatikan wajah bulatku yang dihiasi bundarnya bola mataku maupun mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang dengan dalam tanpa tahu sangka masing-masing didalam hati. Tiba-tiba entah karena saran tafsir yang seperti apa maupun bagaimana bibir Mas Anto menciumi berbagai lekuk mukaku yang segera sehabis sampai pada bagian bibirku, ane membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan MasAnto merambah keatas ke arah dadaku, dalam babak gumpalan dadaku tangannya meremas lembut yang membuatku tanpa sadar mendesah maupun hingga menjerit sejuk. bahkan disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan segar yang berlebih tapi didalam ronde lainnya aku merasakan sip yang berlebih tapi dalam bagian lain beta menghadapi takut yang entah apakah awak harus melawannya. Namun campuran rasa yang demikian ini segera terhapus oleh rasa nikmat yang mulai bisa menikmatinya, awak selalu membaktikan dan membalas tiap-tiap ciuman bibirnya yang di arahkan pada bibirku berikut setiap lekuk yang ada di bagian dadaku. ego semakin tak kuat menahan rasa, gue menggelinjang mudah menahan desakan serta gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas 1 demi 1 kancing baju yang kukenakan, sampailah aku telanjang dada hingga buah dada yang begitu ranum menonjol serta mempertontonkan diri pada akang Anto. Semakin saja Mas Anto memainkan bibirnya didalam burit buah dadaku, dikulumnya, diciuminya, bahkan manusia ini menggigitnya. Golak serta fibrasi yang tak telah kurasa sebelumnya, awak kali ini melayang, terbang, guwe ingin menikmati langkah berikutnya, ana mengalami sebuah kenikmatan tanpa sampai untuk saat ini.
Aku telah menguji untuk memerangi gejolak yang meletup bak gunung yang akan memuntahkan volume kawahnya. akan tetapi suara hujan yang makin menderas, serta kondisi rumah yang hanya tinggal kite-kite berdua, serta bisik goda yang gue tidak tahu darimana datangnya, kesemua itu membuat kami berdua semakin larut dalam permainan sayang itu. Pagutan ataupun rabaan mas Anto ke seluruh tubuhku, membuatku pasrah didalam rintihan kenikmatan yang kurasakan. tangan kakanda Anto diawali mereteli pakaian yang dikenakan, iapun telanjang bulat sekarang. awak tak tahan lagi, segera sosok itu menggoda dengan keras celana didalam yang kukenakan. Tangannya terus saja menggerayangi sekujur tubuhku. kemudian didalam dikala tertentu tangannya membimbing tanganku bagi menuju tempat yang diharapkan, dibagian bawah badannya. kangmas Anto dan terdengar merintih.
Buah dadaku yang mungil ataupun padat tak pernah lepas dari remasan lengan kanda Anto. Sementara tubuhku yang sudah telentang di bawah bodi Mas Anto menggeliat-liat seperti umbai kepanasan. Hingga lenguhan di antar kami mulai terdengar sebentuk tanda permainan ini telah usai. keringat muncul di sana-sini sementara gaun kami tampak berserakan dimana-mana. lobi tengah ini menjadi sangat awut-awutan dilebih sofa tempat kite-kite bermain sayang denga sarat gejolak.
Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu Mas Anto. kite-kite duduk di sofa, tempat kita tadi memasang sejenis permainan cinta, dengan duga sesal yang masing-masing berkecamuk dalam hati. "Aku gak akan mempermainkan kamu, Sarni. hamba lakukan itu ganjaran guwe mencintai sampeyan. aku sungguh-sungguh, Sarni. kau mau mencintaiku kan..?" gue terdiam tidak mampu memberikan jawaban sepatah katapun.
Mas Anto menyeka butiran air bening di sudut mataku, lalu mencium pipiku. Seolah beliau menyatakan bahwa keinginan hatinya padaku merupakan kejujuran cintanya, maupun akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya. Meski aku lestari bertanya pada sesalku, "Mungkinkah kanda Anto bakal mampu menikahiku yang hanya seorang pembantu rumahtangga?"
Sekitar tonjok 19.30 malam, barulah rumah ini tak berbeda dengan waktu-waktu kemarin. papi dan juga bunda umar seakan-akan biasanya tengah menikmati tayangan aktivitas televisi, dan raka Anto mendekam di kamarnya. Yah, seolah tak ada laporan apa-apa yang pernah terbentuk di ruang tengah itu.
Sejak permainan cinta yang sarat nafsu itu kulakukan dengan Mas Anto, diwaktu yang berjalanpun tak terasa telah memaksa kami untuk terus bisa mengulangi lagi sedap ataupun indahnya permainan cinta tersebut. Dan yang pasti aku menjadi oknum yang harus bisa menuruti kemauan nafsu yang timbul pada diri. kurang peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di dapur, asalkan keadaan rumah lagi sepi, kita selalu terbenam hanyut dalam permainan cinta denga gejolak nafsu birahi. masih saja setiap kali aku membayangkan satu hal corak pada permainan cinta, tiba-tiba nafsuku bergejolak ingin segera saja rasanya mengenakan jenis yang sedang melintas pada benakku tersebut. Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan membayangkan wajah akang Anto. hingga ketika di rumah sedang ada ambu umar namun tiba-tiba nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan juga mempromosikan perintah pada raka Anto untuk menyusulnya. Untung kamar mandi bagi pembantu di keluarga itu letaknya timbul di burit renggang dari jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan sarat gejolak di bawah guyuran cairan mandi, dengan lumuran busa sabun di sana-sini yang rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas tentang kenikmatan.
Walau tiap-tiap kali usai melakukan hal ini dengan kanda Anto, gue senantiasa dihantui oleh satu contoh komentar yang itu-itu lagi serta dengan mudah mengusik benakku: "Bagaimana jika aku hamil kelak? apa andaikan kangmas Anto malu mengakuinya, bagaimana keluarga bapak Umar mau merestui kami berdua bagi menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu? Ataukah aku bakal di mendeportasi dari rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh bagi menggugurkan kandungan ini?" Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku seolah gelo dan butuh menjerit sekeras mungkin. Apalagi kakak Anto selama ini hanya berucap: "Aku mencintaimu, Sarni." Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari mulut Mas Anto, tidak akan berarti apa-apa jika Mas Anto langgeng tenang tak berterus terang dengan keluarganya atas bagaimana yang pernah terbuat dengan kami berdua.
Akhirnya terjadilah apakah yang mumpung itu kutakutkan, bahwa aku mulai senantiasa mual dan juga muntah, yah.. beta hamil! kangmas Anto diawali gugup dan panik atas kejadian ini.
"Kenapa kamu bisa hamil sih?" guwe cuma tenang tak menjawab.
"Bukankah ane pernah memberimu tablet supaya kamu nggak hamil. jika begini kita yang repot juga.."
"Kenapa mesti repot abang? Bukankah kakak Anto sudah berjanji akan menikahi Sarni?"
"Iya.. iya.. akan tetapi enggak secepat ini Santi. Aku masih mencintaimu, dan juga ana terbukti akan menikahimu, dan aku dipastikan akan menikahimu. Tetapi bukan saat ini. guwe butuh tatkala yang tepat untuk ngegosip dengan Bapak serta enyak bahwa aku mencintaimu.."
Yah.. berbagai bengawan gue mengeluh masalah perutku yang makin bertambah usianya dari masa kedalam masa serta berganti dengan minggu, kakang Anto selalu kebingungan seorang diri dan juga tak pernah mendapatkan jalan keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh situasi pada rahim yang tentunya makin membesar.
Genap pada usia 3 bulan kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi dari rumah famili ibu umar. Kutinggalkan semua nostalgia duka maupun suka yang mumpung ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan menyalahkan Mas Anto. Ini semua salahku yang tak mampu menjaga otoritas dinding imanku.
Subuh pagi ini awak meninggalkan rumah itu tanpa pamit, sehabis kusiapkan sarapan ataupun sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwasanya awak pergi karena merasa bersalah terhadap keluarga papi Umar.
Hampir setahun selepas kepergianku dari keluarga bapak umar, Aku sekarang pernah menikmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya gue jalani, tapi ana bahagia. Hingga dalam suatu pagi aku membaca surat pembaca di tabloid masyhur. Surat itu isinya bahwasanya oknum pemuda Anto menguber dan mengharapkan isterinya yang bernama Sarni untuk segera pulang. Pemuda itu tampil sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si kandidat isterinya imbas wujud itu begitu mencintainya.
Aku ketahui dan mengerti benar siapa calon isterinya. tapi saya pernah enggak butuh lagi serta pula beta tidak pantas untuk berada di rumah itu lagi, rumah tempat tinggal pemuda bernama Anto itu. ane sudah terbenam dalam kubangan ini. Andai saja mas Anto suka pergi ke lokalisasi, terbukti orang ini tidak perlu harus menulis surat pembaca itu. kanda Anto tentu bakal menemukan calon istrinya yang sangat dicintainya. Agar akang Anto pun mengerti bahwasanya hingga sekarang aku masih merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang perdana maupun terakhir bagiku.
Cerita Dewasa, Aku maupun anak Majikanku
You have read this article cerita dewasa
with the title Cerita Dewasa Terbaru. You can bookmark this page URL http://myclosetnadinesh.blogspot.com/2012/11/cerita-dewasa-terbaru.html. Thanks!